BERIPAT BEREGONG
Beripat Beregong adalah salah satu permainan yang sampai sekarang masih digemari oleh masyarakat Belitung. Beripat Beregong dimainkan oleh dua orang pria yang saling memukul punggung masing-masing dengan menggunakan sebuah rotan khusus. Permainan ini diiringi oleh alat musik tradisional seperti: gong, tawak, kelinang dan serunai. Di masa lalu orang Belitung menjadikan permainan Beripat Beregong sebagai ajang untuk mengukur keberanian para pendekar, tetapi sekarang permainan ini dimainkan sebagai hiburan dalam festival tradisional seperti Maras Taun dan Selamat Kampong.
Lepat Beras
Sebagai perayaan syukur atas panen padi, para penduduk menggelar acara menumbuk padi bersama-sama. Beras yang dihasilkan oleh acara penumbukan padi itu akan digunakan untuk acara makan beras baru dan membuat lepat.
Lepat pada acara maras taun tidak dibuat dari beras ketan, tetapi dari beras ladang yang berwarna merah. Lepat tersebut diisi sepotong kecil ikan atau daging sehingga memberi aroma gurih.
Lepat dibuat dalam dua ukuran, yakni normal (selebar dua jari orang dewasa) dan raksasa. Lepat raksasa dalam perayaan Maras Taun kali ini beratnya sampai 60 kilogram, sedangkan lepat kecil dibuat 5.000 buah.
Pada akhir acara, lepat besar dipotong dan dibagikan kepada masyarakat dan pejabat lokal yang hadir. Sementara itu, lepat kecil yang diletakkan dalam sebuah pondok bambu, yang bernama pondok membarong, boleh menjadi rebutan penduduk.
Sebagai pesta rakyat, maras taun di Selat Nasik sudah dirayakan dua hari sebelumnya. Selama tiga hari itu masyarakat yang hadir disuguhi berbagai pertunjukan kesenian, baik dari desa itu maupun dari wilayah-wilayah lain.
Pada malam sebelum acara, kesenian seperti stambul (keroncong) fajar khas Belitung, tari piring khas minang dan teater Dulmuluk dari Sumatera Selatan dipertontonkan. Pentas musik dengan organ tunggal juga digelar untuk menghibur rakyat yang berpesta.
Makanan yang dihidangkan dalam pesta rakyat ini didominasi oleh makanan laut. Berbagai jenis ikan, kepiting, udang, dan cumi-cumi dimasak dengan berbagai cara. Kegembiraan terpancar dari wajah semua penduduk karena mereka yang mempersiapkan detail acara, mulai dari makanan sampai hiburan secara mandiri.
"Maras Taun"
Maras Taun Adat Barik Urang Belitong …
Dua belas gadis remaja menyanyikan lagu Maras Taun sambil berlenggak-lenggok menarikan tari maras taun di hadapan para tamu undangan. Berbusana kebaya khas petani perempuan yang dilengkapi topi caping, mereka terus melantunkan ucapan syukur tahunan yang sudah menjadi adat masyarakat Belitung.
Tari itu merupakan suguhan pembuka dalam puncak peringatan Maras Taun di Desa Selat Nasik, Pulau Mendanau, Kabupaten Belitung, pertengahan April lalu. Tarian maras taun itu menyimbolkan para petani yang bekerja sama saat memanen padi ladang yang sudah tua. Untuk saling menyemangati, mereka menyanyikan sendiri lagu Maras Taun, bukan dengan iringan kaset.
Setelah para penari undur diri, dua dukun utama di desa itu tampil memulai doa bagi keselamatan Desa Selat Nasik dan Pulau Mendanau. Muhammad, sang dukun tua, mengambil posisi di sebelah kanan, sedangkan Abu Bakar Abas, dukun yang lebih muda, mengambil posisi di sebelah kiri.
Sebelum memulai doa, Abu Bakar memberi sedikit penjelasan tentang tahap-tahap dan fungsi doa keselamatan tersebut. Setelah itu Muhammad mengambil anglo kecil yang sudah diisi arang yang membara dan meletakkan potongan kayu gaharu ke atas bara sehingga keluar asap dengan wewangian khas. Di depan kedua dukun itu ada irisan daun norsah dan daun hati-hati, yang disebut dengan kesalan.
Sesudah itu, mulut para dukun komat-kamit membaca mantra. Doa mereka akhirnya bersatu dalam suatu doa bersama yang dilafalkan dalam bahasa Arab. Selanjutnya, kesalan diberkati lalu dijadikan rebutan para peserta maras taun.
Menurut Abu Bakar, irisan daun norsah berarti cahaya dari Tuhan, sedangkan daun hati-hati melambangkan peringatan bagi manusia agar tidak bertindak keliru. Maksudnya, dalam menjalani hidup, manusia harus berhati-hati karena Tuhan melihat semua kelakuan kita.
Oleh penduduk, ramuan kesalan dimasukkan ke dalam secawan air kemudian ditaburkan di dalam rumah dan perahu yang biasa mereka digunakan untuk melaut. Kesalan diyakini akan membawa keselamatan dan keberuntungan bagi semua orang yang mendapatkannya.
Maras taun, menurut Maryono, ketua panitia acara tersebut, pada awalnya merupakan peringatan hari panen bagi para petani padi ladang. Padi ladang hanya dapat dipanen setelah ditanam sembilan bulan sehingga peringatannya dilakukan setahun sekali.
Dalam kehidupan masyarakat kepulauan, seperti Pulau Mendanau, padi ladang memegang peranan yang sangat penting karena menjadi sumber pasokan bahan makanan utama. Perdagangan beras antarpulau memang dapat dilakukan tetapi pasokan dari tanah sendiri sangat penting, terutama jika suatu pulau terisolasi oleh badai dan cuaca buruk selama beberapa minggu.
Pada perkembangannya, peringatan panen padi itu berkembang menjadi peringatan syukur bagi semua penduduk pulau, baik yang berprofesi sebagai petani padi maupun nelayan. Jika petani merayakan panen, nelayan merayakan musim penangkapan tengiri dan laut yang tenang. Pada intinya, semua bersyukur untuk hasil panen pada bidang masing-masing selama setahun yang telah lewat.
Maras dalam bahasa Belitung, kata Abu Bakar, berarti memotong dan taun berarti tahun. Makna yang terkandung di dalamnya adalah semua penduduk meninggalkan tahun yang lampau dengan ucapan syukur dan permohonan atas semua yang baik untuk tahun selanjutnya.
Peringatan Maras Taun tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Selat Nasik, tetapi juga oleh banyak desa di Pulau Belitung, Pulau Mendanau, dan pulau-pulau kecil lain yang menginduk ke Kabupaten Belitung. Perayaan semacam ini sempat mati selama puluhan tahun, tetapi dihidupkan kembali sekitar enam tahun lalu di Selat Nasik.
Semula acara ini dihidupkan untuk menarik wisatawan ke kawasan itu. Namun, setelah berjalan enam tahun masyarakat kembali meresapi acara ini sebagai bagian integral kehidupan budaya mereka. Bahkan banyak desa lain juga menangkap semangat yang sama dan kembali merayakan maras taun sebagai warisan leluhur yang sempat hilang.
Betiong, Begambus Dan Becampak Salah Satu Warisan Budaya Belitung
Sebenarnya Betiong Dan Begambus ini agak serupa dan mirip, karena keduanya ini merupakan cerita zaman dahulu yang disampaikan melalu syair melayu yang khas. Biasanya betiong dan Begambus ini dipakai saat perayaan hasil panen atau acara- acara adat lainya. Alat musik yang digunakan terdiri dari gong, gendang dan biola. Biasanya Betiong atau Begambus dilaksanakan semalam suntuk, mirip cerita pewayangan di Pulau Jawa. Lain lagi halnya dengan Becampak atau campak, ini merupakan lagu yang dinyanyikan biasanya berpasangan dan ada lawan berpantun juga. Kadang-kadang isinya bisa membuat kita tertawa mendengarnya. Alat musik yang digunakanpun mirip dengan Betiong dan Begambus. Sampai sekarang campak ini masih bisa disaksikan walaupun bukan untuk perayaan adat, untuk acara akikahan atau nikahan pun sering diadakan campak ini. cuma kalau sekarang lebih modern, karena penyanyinya sudah tidak menggunakan pakaian khas dari Belitong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar